Sebuah Catatan Perjalanan: Dari Sukunan, Badegan, ke Piyungan

Jogjakarta, 1 Mei 2011


Alam memberkati kami!
Itulah kesan yang didapat dari perjalan ini. Pagi ini kami mendapat suhu dan kelembaban yang pas untuk memulai perjalan. Jam 9 peserta Fieldtrip Lingkungan (kali ini temanya: SAMPAH) sudah berkumpul di pekarangan Klenthing. Tujuan pertama kami adalah Desa Sukunan! Sukunan, here we come…!


Sukunan adalah Kampung Wisata Lingkungan yang terletak di Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman atau sekitar 5 Km dari arah Barat Tugu Yogyakarta. Sukunan dikenal luas sebagai desa yang mengelola sampah secara mandiri.

Di Sukunan, sampah mulai dikelola dari tingkat rumah tangga. Hal ini lah yang menjadi kunci keberhasilan penanganan sampah, dan sepertinya kebiasaan positif ini telah menjadi budaya warga sukunan. Mengubah prilaku masyarakat tentu bukanlah upaya yang mudah, tips dari desa Sukunan untuk mengubah prilaku masyarakat agar menyadari pentingnya mengelola sampah adalah dengan melakukan pendekatan yang menyentuh pada kebutuhan dasar masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilihat dari unit-unit usaha yang ada di Sukunan, diantaranya:

a. Unit Usaha Penjualan Sampah
b. Unit Usaha Bengkel Sampah
c. Unit Usaha Kerajinan Daur Ulang Sampah
d. Unit Usaha Bak Kompos






Pengelolaan sampah di Sukunan membuka berbagai manfaat, salah satunya manfaat ekonomi yang ditunjukan dalam bentuk “panen kompos”, “penjualan sampah” dan “pembuatan kerajinan daur ulang” yang memiliki nilai ekonomi yang tidak sedikit, sekaligus membuka lapangan kerja bagi warga.

Untuk sampah styrofoam yang tak mudah terurai, warga sukunan punya solusi, yaitu dengan menjadikannya batako yang ramah lingkungan. Penggunaan penggunaan styrofoam bisa menghemat 50% kebutuhan pasir ketimbang penggunaan batu bata. Bahan baku styrofoam juga lebih unggul dibandingkan dengan semen karena dalam styrofoam terkandung banyak serat. Ini membuat fondasi bangunan yang menggunakan styrofoam lebih kuat.

Tak hanya pengelolaan sampah rumah tangga yang dikembangkan di Desa Sukunan, dari kunjungan kami kesana, ternyata disana kami menemukan instalasi pengolahan air dan juga instalasi biogas. Bahkan mereka memiliki 5 instalasi pengolahan air limbah komunal untuk mengelola sampah cair. Sukunan juga mendirikan kandang sapi terpadu agar kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dan biogas untuk kepentingan bersama.

Dan satu lagi yang saya pribadi -selaku perempuan- nantikan sejak lama adalah adanya pembalut yang bisa dipakai ulang. Memang pembalut seperti itu sudah ada dan dipasarkan, tapi masih terbatas karena harga dan aksesnya yang sulit. Warga Sukunan membuat inovasi membuat pembalut yang dapat dipakai ulang sebagai pengganti pembalut yang dijual dipasaran. Sampai saat ini pembalut dan popok belum ada solusi untuk mengelolanya selain dibuang di TPA. Hal ini bila dibiarkan, tentunya akan menghambat sikap positip menuju Zero Waste.

Dari Sukunan, terbanglah kami ke Dusun Badegan, Bantul, DIY. Disini kami akhirnya menyaksikan sendiri adanya Bank Sampah yang dikenal dengan nama Bank Sampah Gemah Ripah. Penamaan Bank Sampah ditujukan untuk menunjukan aktivitas yang dilakukan gerakan memilah dan mendaur ulang sampah ini, yaitu menyimpan atau menabung sama halnya di bank, namun di sini bukan uang yang disimpan atau ditabung, tetapi sampah yang dianggap memiliki nilai ekonomi dan dapat diuangkan setelah 3 (tiga) bulan.


Susunan struktur managemen Bank Sampah Gemah Ripah terdiri atas: direktur, wakil direktur, Sekretaris, Bendahara dan Koordinator/Teller. Aktivitas lembaga ini dijalankan setiap Senin, Rabu dan Jumat mulai jam 16.00 sampai menjelang magrib. Pada saat nasabah menyetorkan sampah, nasabah mendapatkan bukti setoran dari teller yang kemudian di catat dalam buku tabungan. Harga sampah bervariasi tergantung jenisnya.

Sebenarnya Bank Sampah adalah salah satu bagian dari Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan (BKKL) yang memiliki tiga divisi yang salah satunya Bank Sampah Gemah Ripah, dan divisi lainnya adalah divisi daur ulang sampah stereofoam dan daur ulang sampah plastik. Divisi-divisi ini bekerja secara sinergis, Bank Sampah yang menampung sampah, kemudian divisi-divisi lainnya mengolahnya. Ada juga satu lagi divisi penjualan yang disebut dengan Disto Daur Ulang.

Pemberhentian terakhir kita adalah TPA Piyungan. Tidak banyak kata yang ingin diungkapkan setelah sampai di pemberhentian ini, hanya ingin mengatakan: “Kita harus bertindak!”.


Susana muram saat meninggalkan TPA piyungan. Sesampainya kembali di Klenthing, hujan pun turun disertai kilat menyambar-nyambar menemani renungan perjalanan dari Sukunan, Badegan ke Piyungan.

Bless the earth ....
by: Nurul Hidayah